Rabu, 23 Oktober 2013

Jelajah Goa Song Gentong




Beberapa waktu lalu di Tulungagung tersiar kabar bahwa di Kabupaten yang terkenal akan batu marmernya ini kembali ditemukan sebuah fosil manusia purba yang dipercaya sebagai fosil dari Homo Wajakensis. Berdasarkan informasi fosil tersebut diperkirakan berasal dari 40.000 tahun yang lalu Sebagaimana yang telah diketahui wlayah Tulungagung selatan merupakan pegunungan kapur yang terdapat banyak sekali gua-gua kecil, dan di gua itulah dimungkinkan para manusia purba itu tinggal. Benarkah demikian? Berikut jelajah Pendekar Patah Hati

 

Menurut informasi yang berhasil disaring oleh Pendekar Patah Hati tempat penemuan fosil manusia purba tersebut berada di sebuah goa yang bernama goa song gentong. Goa tersebut berada di kawasan Besole Campurdarat. Letak Campurdarat ini berjarak kurang lebih 20 km dari pusat kota. Untuk mencapai lokasi goa ini memang tidaklah mudah sebab tidak ada penunjuk arah yang menunjukkan dengan pasti lokasi tersebut.

Beruntung jelajah Pendekar Patah Hati kali ini ditemani dengan sebuah lembaga yang memilik perhatian terhadp peninggalan berupa fosil-fosil yang tersebar di beberapa wilayah di Jawa Timur. Saat itu Pendekar Patah Hati berangkat sekitar pukul 08.00 pagi. Saat itu rupanya langit sedang tidak bersahabat sebab sejak matahari membuka mata langit terus menerus dipenuhi dengan mendung.

Meski pun langit medung namun semangat Pendekar Patah Hati masih tetap terjaga dengan sangat baik. Sedikit demi sedikit langt telah mencurahkan airnya untuk menyirami bumi. Akan tetapi untungnya hujan tersebut tak mengganggu niatan Pendekar Patah Hati untuk menemukan lokasi dimana ditemukannya fosil-fosil yang diperkirakan telah berusia ribuan tahun yang lalu tersebut.

Ketika berusaha menemukan lokasi berkali-kali Pendekar Patah Hati harus bertanya kepada penduduk sebab lokasi dimana ditemukan fosil tersebut memang tidak ada petunuk sama sekali. Informasi yang diterima lokasi goa tersebut berada dibelakang pabrik marmer. Dan tak menunggu lama lokasi tersebut langsung dituju. Dalam bayangan Pendekar Patah Hati jalan yang untuk menuju lokasi sudah tertata dengan rapi sehingga untuk menjangkau goa tersebut tidaklah sulit.

Namun, ketika samapai dibelakang pabrik marmer bayangan itu hilang sama sekali karena jalanan untuk mencapai goa sangatlah sulit. Apalagi hujan yang mengguyur Tulungagung bagian selatan sejak kemarin membuat jalanan kian menantang untuk ditaklukakkan. Dan karena sulitnya medan akhirnya Pendekar Patah Hati pun menyerah dan dipaksa berjalan kaki untuk menuju lokasi.

Setelah berjalan kaki selama hampir lima belas menit akhirnya Pendekar Patah Hati pun samapi ditempat tujuan. Akan tetapi keadaan goa sangatlah berbeda dengan apa yang ada dibenak Pendekar Patah Hati. Sebab goa yang dimaksud sebagian besar telah runtuh karena adanya aktivitas penambangan marmer. Hanya tinggal sebuah goa saja yang tersisa dan hanya menyisakan sebuah goa itupun tidak terlalu dalam. Dalam gua hanyalah beberapa meter saja dan jika dilihat memang gua tersebut mirip dengan goa tinggal. Sekiat goa masih terlihat dengan jelas sisa-sisa penambangan marmer serta bekas eskavasi yang dilakukan oleh tim dari UGM beberapa waktu yang lalu.

Untuk memastikan kabar yang diterima bahwa di lokasi tersebut memang banyak terdapat fosil yang diperkirakan berasal dari zaman prasejarah. Pendekar Patah Hati melakukan pencarian di beberapa tempat sekitar goa song gentong. Alhasil apa yang diicaripun akhrnya dapat juga, di beberapa tempat sekitar goa banyak sekali terdpay fosil-fosil baik itu maupun tumbuhan. Fosil sendiri merupakan sisa-sisa tumbuhan, binatang, mapun manusia yang berasal dari masa silam yang telah terawetkan.

Kebanyakan fosil yang ditemukan disekitar goa adalah fosil dari binatang laut utamanya kerang. Hal ini selain dimungkinkan bahwa kerang-kerang tersebut merupakan makanan dari manusia purba jenis Homo Wajakensis juga dimungkinkan pula binatang tersebut berasal tidak jauh dari wilayah tersebut.

Memang terdengar aneh sebab wilayah tersebut adalah daerah pegunungan gamping sehingga tidaklah mungkin ada binatang laut ataupun air yang mampu hidup di daerah tersebut. Untuk menjawab pertanyaan ini tentunya tidaklah dapat mengesampingkan bagaimana wajah Tulungagung tempo dulu.

Pada zaman dahulu Tulungagung merupakan sebuah daerah yang kerapkali dilanda banjir, bahkan sebelum berganti nama menjadi Tulungagung nama kabupaten yang berbatasan langsung dengan samudra hindia ini bernama Ngrawa karena sebagian wilayahnya masih berupa rawa-rawa yang teramat luas.

Salah satu rawa yang terkenal di Tulungagung adalah Rawa Pening, konon wilayah rawa pening ini berada tidak jauh dari goa song gentong. Bicara tentang rawa pening tentunya tidak terlepas dengan pusaka Kabupaten Tulungagung yang bernama Tombak Kyai Upas. Berdasarkan legenda yang ada dimasyarakat Tulungagung terjadinya Rawa Pening ini disebabkan karena ada seorang anak kecil yang merupakan jelmaan dari naga baru klinthing yang telah dipotong lidahnya oleh ayahnya. Anak kecil tersebut mengadakan sayembara berupa barang siapa yang mampu mencabut lidi yang ditancapkan di tanah.

Sebenarnya sayembara tersebut diadakan oleh si anak kecil yang merupakan jelmaan dari Naga Baru Klinthing tadi merasa jengkel karena ulah warga sekitar  tidak ada yang mau memberinya makan. Dari sekian banyak warga yang mau memberinya bantuan berupa makanan hanyalah seorang nenek-nenek.

Setelah selesai menghabiskan makanan yang diberikn oleh nenek-nenek tersebut si bocah kecil tadi berpesan agar nenek tersebut menyediakan lesung dan entong kayu jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Mendengar permintaan anak kecil tersebut sebenarnya nenek tua itu merasa bingung karena untuk apa lesung dan entong kayu itu sebab pada waktu itu masih musium kemarau. Namun karen menuruti apa kata hatinya nenek tersebut akhirnya menyiapkan apa saja yang diminta oleh anak kecil tadi.

Sesudah mewanti-wanti nenek yang membantunya tadi si anak jelmaan dari baru Klinting tadi bergegas ke lapagan desa untuk memberi pelajaran warga desa yang sombong dan tidak peduli terhadap orang lain. Saat dilapangan tadi anak kecil tadi menancapkan sebatang lidi dan berujar barang siapa yang mampu mencabut lidi tersebut maka dia boleh mengambil nyawanya namun apabila orang yang bersangkutan tidak mampu mencabut lidi maka orang tersebut haruslah memberikan makanan kepadanya. Akhirnya makanan kian menumpuk banyak karena tidak ada satupun yang mampu mencabutnya. Karena melihat banyak kegagalan wargapun merasa marah dan meminta kepada anak kecil tadi untuk mencabut lidi tersebut.

Sebenarnya sebelum mencabut lidi tersebut anak kecil tadi telah berkata bahwa akan terjadi sesuatu yang buruk apabila dia mencabut lidi tersebut. Namun karena amarah telah merasuk di hati para warga maka tidak ada alan lain bagi dia selain mencabut lidi tersebut. Ketika lidi tercabut muncullah air mancur yang kian lama kian membesar dan tempat dimana lidi tadi ditancapkan terendam air yang kian lama kian membesar dan dalam.

Karena tidak memiliki persiapan yang cukup akan datangnya banjir maka seluruh warga desa tadi meninggal karena tenggelam. Namun dari kesekian banyak penduduk desa tadi yang selamat hanyalah nenek tua yang membantu si baru klinting tadi. Nenek tersebut selamat karena menggunakan lesung dan entong kayu seperti apa yang dikatakan oleh baru klinting tadi.

Sayangnya Rawa Pening tadi semenjak awal tahun 1990-an suah berangsur-angsur mengering dan hingga sekarang rawa pening tadi telah hilang sama sekali. Hilangnya rawa pening ini disebabkan oleh dibangunnya waduk wonorejo yang menampung aliran air dari sungai brantas serta dibukanya terowongan niyama buatan jepang yang mengalirkan air dari rawa-rawa yang ada diwilayah Tulungagung ke laut selatan. Tentu saja tujuan dari pembangunan waduk dan pembukaan rawa pening ini karena ingin membebaskan wilayah Tulungagung dari bencana banjir yang datang setiap tahun. Dan semenjak diresmikannya waduk dan terowongan ini Kota Tulungagung berhasil terbebas dari banjir.

Menilik dari namanya memang benar bahwa Homo Wajakensis merupakan sebuah fosil manusia purba yang ditemukan di wilayah Wajak. Akan tetapi wajak yang dimaksud bukanlah merupakan desa wajak seperti yang ada pada saat ini. Melainkan nama sebuah distrik jaman Belanda yang wilayahnya meliputi daerah di wilayah Tulungagung Selatan. Fosil Homo Wajakensis ini sendiri pertama kali ditemukan oleh Eugene Dubois yang merupakan seorang dokter mliter Belanda pada kisaran tahun 1899.
Bukti bahwa penemuan fosil manusia purba ini tidaklah di Desa Wajak dibuktikan dengan adanya sebuah tugu peringatan yang dibangun di daerah Desa Gamping Kecamatan Campurdarat. Tugu yang diatasnya terdapat tengkorak manusia purba tersebut dibangun dengan tujuan untuk dibangun sebagai tugu peringatan simbolisasi penemuan manusia purba homosapiens yang ditemukan oleh Eugene Dubois. Monumen merupakan simbolisasi apa yang pernah terjadi pada waktu lalu, yakni di Tulungagung pernah ditemukan fosil manusia purba bernama Wajakensis.
Meskipun demikian wilayah tempat ditemukannya fosil manusia purba untuk pertama kali tersebut memang masuk distrik Wajak. Sebagaimana hal ini tentu saja tidak dapat terlepas dari adanya penbagian daerah menurut distrik-distrik yang sangat terkenal sewaktu pendudukan Belanda. Maka, karena ada pembagian distrik itulah meski tempat ditemukannya fosil itu berada di desa Gamping fosil temuan itu tetap dinamakan Homo Wajakensis karena tempat penemuannya berada di wilayah distrik Wajak.
Pada badan monumen tersebut terdapat sebuah relief yang menggambarkan Dubois sedang duduk diebuah kursi dan di depan Dubois tergambar kehidupan manusia jaman prasejarah. Sayangnya goa tempat penemuan tadi seakan telah hilang ditelan kehidupan modern. Wajah Tulungagung saat pertama kali diketemukan fosil-fosil tersebut tentunya sangat berbeda dengan wajah Tulungagung saat ini. Ketika fosil tersebut ditemukan di wilayah Tulungagung masih banyak ditemukan rawa-rawa sedang pada masa sekarang rawa-rawa yang dahulu pernah menggenangi Tulungagung ini telah kering. Hal ini dikarenakan air yang mengisi rawa-rawa tersebut telah dialirkan seluruhnya ke laut Selatan melalui terowongan Niyama.
Menurut keterangan Edi Wiyono selaku Kasi Museum dan Purbakala menjelaskan bahwa manusia purba yang berasal dari distrik wajak dan ditemukan pertama kali oleh Dokter Militer Belada yang bernama Eugene Dubois itu merupakan tahapan manusia purba yang hampir mencapai tahapan sempurna dalam evolusinya. Gampangnya manusia purba jenis Wajakensis ini telah mencapai tahapan Homo Sapiens atau manusia sempurna. Ini dibuktikan dengan volume otaknya yang telah sama besarnya dengan volume manusia modern. Dan dilain hal manusia purba yang berasal dari selatan Tulungagung ini mampu menggunakan alat dalam berburunya. Sedangkan makanan yang mereka makan telah dimasak walau sangat sederhana.
Mengenai makanannya terdiri atas binatang-binatang mamalia kecil, ubi-ubian, dan kerang-kerangan. Mengenai hal makanan dari Homo Wajakensis ini banyak ditemukan di sekitar goa song gentong. Di goa tersebut banyak terdapat serpihan-serpihan sampah dapur berupa kerang dan ubi-ubian. Semua sampah-sampah dapur tersebut telah memfosil dengan sangat sempurna. Perubahan menjadi fosil ini tentunya tidak terlepas dari lingkungan sekitar goa yang banyak sekali mengandung kapur.
Jika melihat posisi goa song gentong dapat dikatakan bahwa manusia purba yang berasal dari Tulungagung yang kerap dsebut dengan Homo Wajakensis ini menjadikan goa-goa sebagai tempat tinggalnya. Di samping itu pula di dekat goa ini dimungkinkan berupa rawa purba ataupun sungai purba hal ini dikarenakan banyaknya sampah berupa kerang yang dapat ditemukan di lokasi.
Adanya anggapan ini memanglah bukanlah tanpa dasar akan tetapi perlu diingat bahwa manusia purba kerap kali tinggal di dekat sumber air guna mempermudah usaha mereka dalam mencari makan. Kemudian jika ditarik garis hubungan antara goa dan sumber mata air maka dapat disimpulkan bahwa di sekitar goa Song Gentong ini terdapat sumber air yang melimpah sehingga manusia purba tersebut menjadikan goa Song Gentong Menjadi rumah tinggalnya.
Jika dilihat secara fisik goa song Gentong berbeda dengan goa-goa yang ada di wilayah Tulungagung. Kebanyakan goa yang ada di wilayah Tulungagung merupakan goa buatan manusia yang digunakan sebagai tempat bersemedi. Goa Song Gentong merupakan goa yang berbeda, sebab goa ini terjadi secara alami dan bentuknya pun unik sebab terlihat memiliki sebuah ruangan yang bisa digunakan sebagai tempat tinggal. Letaknya pun terdapat agak tinggi dan agak tersembunyi sehingga selain dapat digunakan untuk berlindung dari cuaca juga dapat digunakan sebagai tempat berlindung dari serangan binatang buas.
Sebenarnya goa Song Gentong ini terdiri dari dua macam bagian yang masing-masing hanya berjarak 50 meter saja. Di kedua goa ini banyak sekali jejak-jejak arkeologis yang memiliki nilai besar dalam menguak asal-usul manusia dari sudut pandang sejarah. Akan tetapi sayangnya kebetuhan ekonomi yang kian mendesak membuat para pekerja marmer terus melakukan perburuan sehingga pada akhirnya menyebabkan runtuhnya sebagian goa Song Gentong. Dengan robohnya goa ini maka berarti hilanglah jejak prasejarah yang dimiliki Tulungagung.
Untungnya saat Pendekar Patah Hati melakukan penjelajahan untuk melihat letak rumah dari manusia purba yang bersamaan dengan rombongan dari Dharma Tyas Project masih dapat sedikit menemukan sisa-sisa fosl yang dimungkinkan merupakan bekas makanan dari manusia purba tersebut. Di lokasi yang sama beberapa waktu yang lalu juga telah diadakan eskavasi oleh tim dari UGM mengadakan eskavasi dan menemukan fosil dari Kuda Nil Purba dan tapir Purba. Dari adanya penemuan ini semakin jelas bahwa di lokasi sekitar goa Song Gentong ini dahulunya merupakan sebuah daerah yang berada dekat dengan sumber air.
Dharma Tyas Project sendiri merupakan sebuah perkumpulan yang mengkaji nilai filosofi fosil. Menurut Handaka salah seorang anggota Dharma Tyas Project mengatakan banyak nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam fosil. Apablia dapat mengakajinya maka dapatlah kiranya nilai tersebut dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan di dalam dunia ini. Handaka atau yang akrab disapa dengan nama Kaka ini menambahkan bahwa di dalam fosil terdapat ayat-ayat alam yang penuh akan nilai filosofi.
Dalam jelajah kali ini Pendekar Patah Hati melihat betapa gunung di wilayah selatan Tulungagung telah banyak yang hancur karena terkena dampak penambangan marmer. Gunung-gunung itu dibelah untuk diambil batunya. Melihat pemandangan tersebut Pendekar Patah Hati merasa sangat menyesalkan apa yang dilakukan para penambng marmer tersebut. Karena sikapnya yang tidak peduli telah menghapuskan salah satu peninggalan arkeologis yang paling berharga. Dengan runtuhnya sebagian dari goa Song Gentong dapat diartikan bahwa mereka telah merusak sebuah hal yang sangat berharga dalam usaha untuk mengungkap asal-usul manusia.  Para penambang tersebut seharusnya dapat lebih arif dan bijaksana lagi sehingga mereka dapat memperlihatkan kepada anak cucu mereka goa yang menyimpan catatan prasearah yang ada di wilayah Tulungagung Selatan ini.

Untuk mengetahui bagaimana wujud Homo Wajakensis ini dapat mengunjungi musium daerah yang ada di wilayah selatan tulungagung atau tepatnya berada di Jalan Raya Boyolangu 4.  Sedang untuk fosilnya sendiri telah berada di Belanda. Yang ada di musium ini selain replika utuh dari sosok manusia purba dari jenis Homo Wajakensis juga terdapat replika tulang tengkorak dari Homo Wajakensis. Dari replika yang terdapat pada musium ini terlihat bahwa Homo Wajakensis lebih irip dengan kera jika dibandingkan dengan manusia modern. Meskipun begitu ada beberapa hal yang membedakan antara manusia purba jenis ini dengan primata jenis kera. Perbedaan  yang mendasar adalah manusia purba jenis ini sudh dapat berdiri dengan tegak serta telah mampu berburu meskipun dengan menggunakan alat yang sederhana.

Secara total bentuk dari manusia purba adalah sebagai berikut. Muka datar dan lebar, hidung lebar dan bagian mulut menonjol (maju), Dahinya agak miring dan diatas mata terdapat busur dahi yang nyat. Pipinya menonjol ke samping. Kapasitas otak mencapai 1300 cc. Berat badan dari 30 - 150 kg. Tinggi badan 130 - 210 cm. Jarak antara hidung dan mulut masih jauh, Perawakannya masih seperti kera akan tetapi sudah berdiri tegak
 

 

1 komentar:

  1. dekat pantai gemah http://www.ibnuwajak.id/2017/05/tim-kebersihan-pantai-gemah-jos-gandos.html

    BalasHapus