Menilik dari
namanya memang benar bahwa Homo Wajakensis merupakan sebuah fosil manusia purba
yang ditemukan di wilayah Wajak. Akan tetapi wajak yang dimaksud bukanlah
merupakan desa wajak seperti yang ada pada saat ini. Melainkan nama sebuah
distrik jaman Belanda yang wilayahnya meliputi daerah di wilayah Tulungagung
Selatan. Fosil Homo Wajakensis ini sendiri pertama kali ditemukan oleh Eugene
Dubois yang merupakan seorang dokter mliter Belanda pada kisaran tahun 1899.
Bukti
bahwa penemuan fosil manusia purba ini tidaklah di Desa Wajak dibuktikan dengan
adanya sebuah tugu peringatan yang dibangun di daerah Desa Gamping Kecamatan
Campurdarat. Tugu yang diatasnya terdapat tengkorak manusia purba tersebut
dibangun dengan tujuan untuk dibangun sebagai tugu
peringatan simbolisasi penemuan manusia purba homosapiens yang ditemukan oleh
Eugene Dubois. Monumen merupakan simbolisasi apa yang pernah terjadi pada waktu
lalu, yakni di Tulungagung pernah ditemukan fosil manusia purba bernama
Wajakensis.
Meskipun demikian wilayah tempat ditemukannya fosil
manusia purba untuk pertama kali tersebut memang masuk distrik Wajak.
Sebagaimana hal ini tentu saja tidak dapat terlepas dari adanya penbagian
daerah menurut distrik-distrik yang sangat terkenal sewaktu pendudukan Belanda.
Maka, karena ada pembagian distrik itulah meski tempat ditemukannya fosil itu
berada di desa Gamping fosil temuan itu tetap dinamakan Homo Wajakensis karena
tempat penemuannya berada di wilayah distrik Wajak.
Pada badan monumen tersebut terdapat sebuah relief
yang menggambarkan Dubois sedang duduk diebuah kursi dan di depan Dubois
tergambar kehidupan manusia jaman prasejarah. Sayangnya goa tempat penemuan tadi
seakan telah hilang ditelan kehidupan modern. Wajah Tulungagung saat pertama
kali diketemukan fosil-fosil tersebut tentunya sangat berbeda dengan wajah
Tulungagung saat ini. Ketika fosil tersebut ditemukan di wilayah Tulungagung
masih banyak ditemukan rawa-rawa sedang pada masa sekarang rawa-rawa yang
dahulu pernah menggenangi Tulungagung ini telah kering. Hal ini dikarenakan air
yang mengisi rawa-rawa tersebut telah dialirkan seluruhnya ke laut Selatan
melalui terowongan Niyama.
Menurut keterangan Edi Wiyono selaku Kasi Museum dan
Purbakala menjelaskan bahwa manusia purba yang berasal dari distrik wajak dan
ditemukan pertama kali oleh Dokter Militer Belada yang bernama Eugene Dubois
itu merupakan tahapan manusia purba yang hampir mencapai tahapan sempurna dalam
evolusinya. Gampangnya manusia purba jenis Wajakensis ini telah mencapai
tahapan Homo Sapiens atau manusia
sempurna. Ini dibuktikan dengan volume otaknya yang telah sama besarnya dengan
volume manusia modern. Dan dilain hal manusia purba yang berasal dari selatan
Tulungagung ini mampu menggunakan alat dalam berburunya. Sedangkan makanan yang
mereka makan telah dimasak walau sangat sederhana.
Mengenai makanannya terdiri atas binatang-binatang
mamalia kecil, ubi-ubian, dan kerang-kerangan. Mengenai hal makanan dari Homo
Wajakensis ini banyak ditemukan di sekitar goa song gentong. Di goa tersebut
banyak terdapat serpihan-serpihan sampah dapur berupa kerang dan ubi-ubian.
Semua sampah-sampah dapur tersebut telah memfosil dengan sangat sempurna.
Perubahan menjadi fosil ini tentunya tidak terlepas dari lingkungan sekitar goa
yang banyak sekali mengandung kapur.
Jika melihat posisi goa song gentong dapat dikatakan
bahwa manusia purba yang berasal dari Tulungagung yang kerap dsebut dengan Homo
Wajakensis ini menjadikan goa-goa sebagai tempat tinggalnya. Di samping itu
pula di dekat goa ini dimungkinkan berupa rawa purba ataupun sungai purba hal
ini dikarenakan banyaknya sampah berupa kerang yang dapat ditemukan di lokasi.
Adanya anggapan ini memanglah bukanlah tanpa dasar
akan tetapi perlu diingat bahwa manusia purba kerap kali tinggal di dekat
sumber air guna mempermudah usaha mereka dalam mencari makan. Kemudian jika
ditarik garis hubungan antara goa dan sumber mata air maka dapat disimpulkan
bahwa di sekitar goa Song Gentong ini terdapat sumber air yang melimpah
sehingga manusia purba tersebut menjadikan goa Song Gentong Menjadi rumah
tinggalnya.
Jika dilihat secara fisik goa song Gentong berbeda
dengan goa-goa yang ada di wilayah Tulungagung. Kebanyakan goa yang ada di
wilayah Tulungagung merupakan goa buatan manusia yang digunakan sebagai tempat
bersemedi. Goa Song Gentong merupakan goa yang berbeda, sebab goa ini terjadi
secara alami dan bentuknya pun unik sebab terlihat memiliki sebuah ruangan yang
bisa digunakan sebagai tempat tinggal. Letaknya pun terdapat agak tinggi dan
agak tersembunyi sehingga selain dapat digunakan untuk berlindung dari cuaca
juga dapat digunakan sebagai tempat berlindung dari serangan binatang buas.
Sebenarnya goa Song Gentong ini terdiri dari dua macam
bagian yang masing-masing hanya berjarak 50 meter saja. Di kedua goa ini banyak
sekali jejak-jejak arkeologis yang memiliki nilai besar dalam menguak asal-usul
manusia dari sudut pandang sejarah. Akan tetapi sayangnya kebetuhan ekonomi
yang kian mendesak membuat para pekerja marmer terus melakukan perburuan
sehingga pada akhirnya menyebabkan runtuhnya sebagian goa Song Gentong. Dengan
robohnya goa ini maka berarti hilanglah jejak prasejarah yang dimiliki
Tulungagung.
Untungnya saat Pendekar
Patah Hati melakukan penjelajahan untuk melihat letak rumah dari manusia
purba yang bersamaan dengan rombongan dari Dharma Tyas Project masih dapat sedikit
menemukan sisa-sisa fosl yang dimungkinkan merupakan bekas makanan dari manusia
purba tersebut. Di lokasi yang sama beberapa waktu yang lalu juga telah
diadakan eskavasi oleh tim dari UGM mengadakan eskavasi dan menemukan fosil
dari Kuda Nil Purba dan tapir Purba. Dari adanya penemuan ini semakin jelas
bahwa di lokasi sekitar goa Song Gentong ini dahulunya merupakan sebuah daerah
yang berada dekat dengan sumber air.
Dharma Tyas Project sendiri merupakan sebuah
perkumpulan yang mengkaji nilai filosofi fosil. Menurut Handaka salah seorang anggota
Dharma Tyas Project mengatakan banyak nilai-nilai filosofi yang terkandung
dalam fosil. Apablia dapat mengakajinya maka dapatlah kiranya nilai tersebut
dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan di dalam dunia ini.
Handaka atau yang akrab disapa dengan nama Kaka ini menambahkan bahwa di dalam
fosil terdapat ayat-ayat alam yang penuh akan nilai filosofi.
Dalam jelajah kali ini Pendekar Patah Hati melihat betapa
gunung di wilayah selatan Tulungagung telah banyak yang hancur karena terkena
dampak penambangan marmer. Gunung-gunung itu dibelah untuk diambil batunya.
Melihat pemandangan tersebut Pendekar
Patah Hati merasa sangat menyesalkan apa yang dilakukan para penambng
marmer tersebut. Karena sikapnya yang tidak peduli telah menghapuskan salah
satu peninggalan arkeologis yang paling berharga. Dengan runtuhnya sebagian
dari goa Song Gentong dapat diartikan bahwa mereka telah merusak sebuah hal
yang sangat berharga dalam usaha untuk mengungkap asal-usul manusia. Para penambang tersebut seharusnya dapat
lebih arif dan bijaksana lagi sehingga mereka dapat memperlihatkan kepada anak
cucu mereka goa yang menyimpan catatan prasearah yang ada di wilayah
Tulungagung Selatan ini.
Untuk mengetahui bagaimana wujud Homo Wajakensis ini dapat mengunjungi
musium daerah yang ada di wilayah selatan tulungagung atau tepatnya berada di
Jalan Raya Boyolangu 4. Sedang untuk
fosilnya sendiri telah berada di Belanda. Yang ada di musium ini selain replika
utuh dari sosok manusia purba dari jenis Homo
Wajakensis juga terdapat replika tulang tengkorak dari Homo Wajakensis. Dari replika yang terdapat pada musium ini
terlihat bahwa Homo Wajakensis lebih
irip dengan kera jika dibandingkan dengan manusia modern. Meskipun begitu ada
beberapa hal yang membedakan antara manusia purba jenis ini dengan primata
jenis kera. Perbedaan yang mendasar
adalah manusia purba jenis ini sudh dapat berdiri dengan tegak serta telah
mampu berburu meskipun dengan menggunakan alat yang sederhana.
Secara total bentuk dari manusia purba adalah
sebagai berikut. Muka datar dan
lebar, hidung lebar dan bagian mulut menonjol (maju), Dahinya agak miring dan
diatas mata terdapat busur dahi yang nyat. Pipinya menonjol ke samping.
Kapasitas otak mencapai 1300 cc. Berat badan dari 30 - 150 kg. Tinggi badan 130
- 210 cm. Jarak antara hidung dan mulut masih jauh, Perawakannya masih seperti
kera akan tetapi sudah berdiri tegak
dekat pantai gemah http://www.ibnuwajak.id/2017/05/tim-kebersihan-pantai-gemah-jos-gandos.html
BalasHapus