Solo adalah
salah satu kota di pulau Jawa yang masih kental nuansa Jawanya. Disamping ditemukannya
jejak-jejak akan kebesaran masa lampau kota ini juga memegang peranan penting
dalam menyebarkan agama islam. Di kota yang terkenal dengan sebutan kota
bengawan ini tersiar kabar bahwa ada sebuah pondok tua yang hingga kini masih
terus mencetak generasi islam yang berkualitas. Dan pondok itu disebut juga
sebagai pondok tertua di Pulau Jawa. Benarkah demikian? Berikut laporannya
Pondok Pesantren
yang bernama Pondok Jamsaren itu berada di jalan Veteran No. 263 Serengan Solo.
Mengenai adanya sebutan bahwa pondok ini merupakan pondok tertua di tanah Jawa
barangkali memang ada benarnya. Pasalnya menurut catatan sejarah Pondok ini
didirikan pada masa Paku Buwono IV atau tepatnya pada tahun 1750 Masehi.
Pada awalnya
pondok pesantren yang didirikan pada masa pemerintahan Paku Buana IV ini
merupakan surau kecil. Pada waktu itu Sinuhun Paku Buana IV mendatangkan
beberapa ulama besar pada masanya seperti Kyai Jamsari dari Banyumas, Kyai
Hasan Gabudan dan beberapa Kyai besar lainnya. Pengambilan nama Jamsaren yang
melekat pada pondok ini diambil dari tempat tinggal Kyai Jamsari pada masa
dulu. Dan hingga sekarang nama Jamsaren tersebut tetap dibiarkan melekat pada
nama pondok agar sejarah bagaimana pondok ini berdiri tetap terjaga.
Sejarah mencatat
bahwa pendirian pondok ini tidak bisa
lepas dari peran Sinuhun Paku Buana IV yang ingin memasukkan nilai-nilai islam
dalam kebudayaan masyarakat Solo yang pada waktu itu masih kental akan nilai
Hindu-Budha serta animisme dan dinamisme. Untuk memasukkan nilai-nilai agama
islam pada masyarakat Solo maka dipanggilah Kyai Jamsari dari Banyumas untuk
menyebarkan agama islam di wilayah Solo. untuk menjalankan amanat dari sng raja
lalu Kyai Jamsari mendirikan sebuah surau dan mengajarkan agama islam kepada
seluruh lapisan masyarakat. baik itu masyarakat umum, kalangan pejabat, bahkan
hingga kalangan bangsawan istana.
Dalam
perjalanannya dari awal berdiri hingga sekitar tahun 1800 pondok ini berjalan
sebagaimana mestinya. Pada awalnya lokasi pondok hanyalah berupa surau kecil
yang berada di dekat rumah kyai Jamsari. Namun karena banyak santri yang merasa
cocok dengan ajaran yang dibawa oleh sang kyai lalu banyak pendatang yang
mendirikan rumah disekitar surau tersebut. Sehingga pada akhirya terbentuklah
sebuah perkampungan. Perkampungan tersebut lalu dinamai dengan nama “Jamsaren”
yang memiliki arti tempat tinggal Kyai Jamsari.
Setelah Kyai Jamsari wafat, tampuk
kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh Kyai Jamsari II, anak kandungnya. Pada
masa pengasuhan Kyai Jamsari II ini bersamaan dengan pergolakan besar di tanah
Jawa yang disebabkan pemberontakan Diponegoro terhadap bangsa Belanda. Pangeran
Diponegoro yang memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo merupakan seorang putra
dari Sultan Hamengkubuwono III yang berasal dari keraton Yogyakarta. Perang
yang digelorakan oleh Pangeran Diponegoro dsebut-sebut merupakan salah satu
perang yang terbesar yang pernah terjadi diatas tanah jawa maka tak heran
apabila ada sebagian orang yang menyebutkan bahwa perang yang digelorakan oleh
Pangeran Diponegoro ini juga disebut sebagai Perang Jawa.
Meskipun tidak ada dukungan secara resmi
dari pihak keraton, namun sejumlah kerabat sang pangeran dari Keraton
Yogyakarta turut membantu perjuangan Diponegoro. Sedangkan Keraton Surakarta di
bawah Susuhunan Paku Buwono VI secara resmi memberikan dukungan dana dan
pasukan.
Sedangkan kekuatan paling menentukan
pada perjuangan Diponegoro adalah dukungan massif para Kyai dari berbagai
daerah. Mereka yang memberikan perlindungan dan bantuan bala pasukan di
berbagai daerah medan pertempuran. Salah satu pendukung utama Diponegoro dari
kalangan ulama adalah Kyai Jamsari II dari Solo, selain nama-nama ulama
terkenal lain seperti Kyai Mojo (Solo), Kyai Yahudo (Magelang), Kyai Imam Rozi
(Klaten) dan lain-lainnya.
Setelah perang Diponegoro berhasil
dipadamkan, Belanda melakukan penangkapan dan pengasingan terhadap para tokoh
pemberontakan. Diponegoro diasingkan ke Sulawesi Selatan, Paku Buwono VI
diasingkan ke Ambon, Sentot Prawirodirjo diasingkan ke Sumatera Selatan, Kyai
Mojo dan sejumlah Kyai lainnya yang tertangkap diasingkan ke Tondano, Sulawesi
Utara.
Ketika perang yang digelorakan oleh
Pangeran Diponegoro berhasil dipadamkan oleh pihak Belanda. Banyak Kyai yang
diburu dan ditangkapi selain itu banyak
pula pesantren yang di bumi hanguskan karena tuduhan menyembunyikan ekstrimis,
sebutan untuk para pendukung Diponegoro. Dalam kondisi itulah Kyai Jamsari II
beserta keluarga dan seluruh santrinya memutuskan untuk meninggalkan pesantren,
tanpa diketahui secara pasti dimana tempat mereka bermukim setelahnya. Bahkan
hingga saat ini tidak diketahui pasti dimana makam Kyai Jamsari II.
"Tidak ada
informasi mamadai kemana larinya. Namun beberapa tahun terakhir kami
mendapatkan kunjungan dari Kediri yang memberi tahu bahwa Kyai Jamsari II lari
diri ke Kediri lalu tinggal dan wafat disana. Di Kecamatan Pesantren, Kediri
ada desa bernama Jamsaren," ujar Mufti Addin, lurah Ponpes Jamsaren.
Kompleks dan bangunan pesantren itu
kemudian kosong dan terbengkalai hampir selama 50 tahun, hingga akhirnya
seorang ulama dari Klaten yang mengurusnya. Ulama itu adalah Kyai Idris, salah
seorang keturunan dari Kyai Imam Rozi yang merupakan sahabat akrab Kyai Jamsari
II.
Setelah mengalami kekosongan hampir
selama 50 tahun atau tepatnya sejak tahun 1878, Kyai Idris kembali membangun
dan mengembangkan Pesantren Jamsaren. Saat ditemukan konddisi pondok dalam
keadaan kosong. Melihat hal tersebut lalu beliau berusaha membangun kembali
Pondok Pesantren serta mengembangkan ajaran islam di daerah Surakarta.
Hal pertama yang dilakukan beliau adalah
mendirikan mushola dilingkari rumah pondok dari bambu. Kyai menyelenggarakan
pengajian dengan mengajarkan kitab-kitab
Al-islam yang berahasa Arab dan telah di terjemahkan dalam bahasa Jawa pegon.
Kitab-kitab yang diajarkan oleh sang kyai mulai kitab jurumiyah, sampai alfiyah
dan sarah ibnu aqil. Dalam ilmu sorof mula kitab Bina’ sampai maraqul arawah
dan kitab syafiyah. Adapun cara mengajarnya dilakukan dengan menggunakan sistem
sorogan dan juga blandhongan.
Di bawah kepemimpinan Kyai Idris inilah
Pondok Jamsaren mulai memasuki era keemasan. Hal ini dikarenakan pada masa
kepemimpinannyalah pondok ini menjadi sebuah tempat yang menjadi rujukan
pesantren di tanah air. Bukan itu saja ribuan santri dari luar negeri dan dari
berbagai penjuru Asia Tenggara berguru untuk menimba ilmu di pesantren yang
dipimpin oleh Kyai yang terkenal sangat alim dan juga merupakan seorang mursyid
Thariqah Sadziliyah tersebut.
Nama-nama Kyai besar yang ada ditanah
jawa pun tercatat pernah menimba ilmu di pesantren Di antara nama-nama besar
yang pernah nyantri di Pesantren Jamsaren. Para Kyai tersebut adalah Kyai
Mansyur (pendiri Ponpes Al-Mansyur Klaten), Kyai Dimyati (pendiri Ponpes
Termas, Pacitan), Syeich Ahmad al-Hadi (tokoh Islam kenamaan di Bali), Kyai
Arwani Amin (Kudus), Kyai Abdul Hadi Zahid (pengasuh Ponpes Langitan, Tuban).
Sekitar tahun 1908
mushola pondok pesantren diganti dengan bangunan masjid dimana hal ini masih
berlangsung sampai sekarang. Dan pada tahun 1913 sistem sorogan diganti menjadi
sistim kelas dimana masing-masing kelas dibimbing oleh oleh seorang
Qori’/Mualim. Bersamaan itu pula Sunan Paku Buana X mendirikan Madrasah
Mamba’ul Ulum. Madrasah ini didirikan di samping masjid agung Surakarta.
Tahun 1923 M, Kyai
H.Idris wafat dan dimakamkan di pajang Makam Haji.dan diganti oleh KH. Abu Amar
beliau diberi gelar Kyai Jamsari (Kyai Ngabei projowijoto). Ketika dibawah
kepimpinan sang kyai baik di Surakarta maupun Indoesia mengalami banyak
peristiwa pergolakan. Akan tetapi baik Madrasah Mamb’ul Ulum dan Pondok
Jamsaren tetap teguh mencetak kader-kader yang cakap dalam menghadapi tantangan
jaman. Baik itu pula saat terjadi penjajahan Jepang. Dua lembaga yang berada di
kota Solo ini berperan penting dalam menggembleng angkatan Hisbullah dan
Sabilillah yang merupakan barisan depan dalam mempertahankan kedaulatan tanah
air dan Republik Indonesia. Para santri pondok pesantren dalam perjuangannya
menempuh jalan geriliya dan cara ini dilakukan hingga berakhirnya masa
pendudukan Belanda di Indonesia.
Masa kepemimpinan KH. Abu
Amar berlangsung hingga tahun 1965, setelah sang kyai wafat lalu kepemimpinan
pondok diteruskan oleh putranya yakni KH. Ali Darokah. KH Ali Darokah memimpin
pondok dari tahu 1965 hingga tahun 1997. Dalam memimpin pondok pada kisaran
tahun ini KH Ali Darokah dibantu oleh beberapa pengurus pondok. Dimana para
pengurus pondok tersebut terdiri atas Lurah Pondok, Sekeraris, Wali Santri Pondok,
Staf Pengajar, Staf Keamanan dan Taf’adah.
Pada awal juli tahun
1997 mendung kelabu kembali memayungi Pondok jamsaren. Pasalnya pada tanggal 8
Juli 1997 sang kyai telah berpulang kerahmatullah. Sang Kyai lalu dimakamkan di
Pajang. Sepeninggal sang kyai kepengurusan pondok diserahkan kepada pengurus
harian pondok dan pengurus pelaksana harian pondok.
Pada periode ini selain
pengajian sistem kela dengan materi pelajaran agama juga diberi materi
pelajaran umum untuk menunjang prestai santri.Tahun pertama santri diwajibkan
untuk menghapal juz Amma sebagai salah satu bekal santri dalam kehidupan
bermasyarakat kelak. Tahun berikutnya santri diwajibkan menghapal Al-qur'an juz
29,28 dan begitu seterunya hingga khatam 30 juz.
Sedang pengajian umum
pada pagi hari diteruskan oleh Drs.Mohctar Salimi, M . Ag. Sebagai salah satu
institusi pendidikan yang telah ditempa oleh perubahan zaman selama berpuluh-puluh
tahun, maka dalam mensikapi dunia pendidikan pada dekade ini. Pondok Pesantren
Jamsaren menaarkan suatu alternatif istem pendidikan dimana disatu sisi santri
digembleng dengan pengetahuanpendidikan agama islam di pesantren, disisi lain
santri menuntut ilmu pengetahuan umum di sekolah formal dengan harapan agar
kelak menjadi profesional muda yang berjiwa Ulama, Mubaligh, Mujahid dan
pemimpin yang berguna bagi bangsa, agama dan negara.
AJARKAN
KITAB BERBAHASA JAWA DAN BANYAK LAHIRKAN TOKOH PENTING
Menurut Lurah
Ponpes Jamsaren H Mufti Addin beberapa nama besar pernah lahir dari pondok
Jamsaren, di antaranya Munawir Sadzali (mantan Menteri Agama RI), Prof Dr Amien
Rais (mantan Ke tua MPR dan mantan Ketua PP Muhammadiyah) dan Miftah Farid
(Ketua MUI Jabar). “Materi yang diajarkan di Jamsaren adalah kitab-kitab Al
Islam berbahasa Arab dan diterjemahkan dengan bahasa Jawa Pegon (bahasa yang disesuaikan
dengan susunan bahasa Arab), seperti Nahwu Shorof, Tajwid, Qiroah, Tafsir,
Fiqh, Hadits, Mantiq, Tarikh dan Dmu Tasawwuf,” ujamya.
Metode
pengajaran pun dengan cara sorogan (maju satu per satu), sebagian yang lain
dengan cara wekton atau blandongan (cara berkelompok), masing-masing membawa
kitab sendiri. “Belakangan ini sistem pengajian sorogan diganti dengan sistem
kelas,” paparnya.
Para santri
Jamsaren tidak hanya datang dari Solo dan daerah sekitarnya, tetapi juga datang
dari daerah lain di Pulau Jawa, seperti Semarang, Banten, Jombang, dan
Mojokerto Dalam perkembangannya, Ponpes Jamsaren kemudian bekeija sama dengan
Yayasan Perguruan Al Islam Solo.
Kini, sebagian
besar santrinya adalah siswa SMP dan SMA Al Islam Solo. Ada beberapa aturan
ketat yang harus ditaati para santri yang semuanya laki-laki itu, di antaranya
tidak boleh merokok dan wajib menaati jam wajib belajar selepas salat Isya hingga
pukul 22.30. Pada waktu itu, masing-masing belajar khusus untuk mengulang
pelajaran di sekolah. Di antara nama-nama besar yang pernah nyantri Kiai
Idris adalah Kiai Mansyur (pendiri Ponpes Al-Mansyur Klaten), Kiai Dimyati
(pendiri Ponpes Termas, Pacitan), Syeich Ahmad al-Hadi (tokoh Islam kenamaan di
Bali), Kiai Arwani Amin (Kudus), Kiai Abdul Hadi Zahid (pengasuh Ponpes
Langitan).
Bahkan setelah Kiai Idris wafat pada tahun 1923, nama
besar Jamsaren masih menjadi rujukan bagi para orangtua untuk mengirim anaknya
nyantri. Banyak tokoh besar tanah air merupakan lulusan atau pernah belajar
agama secara intens di Jamsaren generasi berikutnya. Sebut saja misalnya
Munawir Sadzali (mantan Menag), Amien Rais (mantan Ketua MPR), KH Zarkasyi
(pendiri Ponpes Gontor), KH Hasan Ubaidah (pendiri dan pimpinan LDII) serta
sejumlah nama lainnya. Jamsaren, sebuah pesantren kuno yang telah menyemai tumbuhnya
banyak tokoh di negri ini.
Tokoh sentral yang terakhir memimpin pesantren ini
adalah KH Ali Darokah. Setelah KH Ali Darokah wafat tahun 1997, Jamsaren
dipimpin oleh sebuah dewan sesepuh. Sedangkan sebagai pelaksana keputusan,
semua kegiatan dipimpin Mufti Addin selaku lurah pondok. Salah satu jejak besar
Jamsaren saat ini adalah Yayasan Pendidikan Al-Islam yang didirikan tahun 1926
oleh para alumni dan pengasuh Jamsaren. Lembaga pendidikan ini telah berkembang
luas sebagai sekolah favorit di Jawa tengah dan Jawa Timur dari tingkat TK/RA
hingga SMA/MA.
Sedangkan santri mukim di Jamsaren saat ini sekitar
120 santri putra dengan prioritas program tahfidul Qur'an. "Mereka santri
mukim disini. Pagi hari akan mengikuti sekolah formal di Al-Islam lalu siang
hingga malam tinggal di Jamsaren," ujar Mufti. Untuk mengisi kegiatan pada
bulan ramadhan, kata Mufti, setiap tahun Jamsaren selalu mengadakan pesantren
kilat untuk anak-anak usia kelas 3 SD hingga 2 SMP. Selain itu setiap bulan
ramadhan juga akan digelar pengajian akbar dengan menghadirkan mubaligh dari
berbagai kota. Pilihan Jamsaren tidak bergabung ke ormas keagamaan manapun
justru memudahkan pesantren ini menjalin hubungan dengan tokoh dan ormas
manapun.
Ada keunikan tersendiri apabila mendatangi pondok
pesantren yang tercatat sebagai pondok pesantren yang tertua di pulau Jawa ini.
Keunikan tersebut adalah terdapatnya sebuah bangunan masjid yang usianya telah
ratusan tahun dan merupakan saksi bisu atas perjalanan pondok ini dari waktu ke
waktu. Keunikan tersebut terlihat pada sebuah masjid yang terdapat dalam
kompleks pesantren pada masjid tersebut terlihat kerangka atap penyangga masjid
yang terbuat dari kayu jati. Kerangka atap tersebut merupakan peninggalan asli
dari Pondok Pesantren Jamsaren. Pondok ini telah berdiri sejak era Paku Buana
IV dan hingga kini masjid tersebut masih berdiri dengan tegaknya.
Selain
itu ada beberapa bangunan lain yang masih dipertahankan keasliannya, salah satu
dari bangunan tersebut adalah rumah kediaman atau ndalem kiai yang saat ini ditempati
oleh Nyai Siti Aminah Ali Darokah dan bangunan rumah di depannya yang kini
dimanfaatkan sebagai gedung raudatul athfal (RA) atau taman kanak-kanak.
Assalamualaikum.yg sy hurmati penulis sejarah,tak ada maksut tuk merendahkan atau ngurangi rasa hurmat,setau sy kyai jamsaren itu maqomnya ada di sukoharjo solo.tepatnya desa ngenep sukoharjo.ma af sy adalah insyaaAlloh genetik ke lima.makasih
BalasHapusWassalam RM Arwani suryaningra
Ma af kok gak ada tanggapan ya
BalasHapusMa af gak bermaksud mengurangi rasa hurmat,tp jika berkenan tolong masukkan pula silsiah kyai jamsari dari banyumas.makasih
BalasHapuswalaupun tidak secara langsung ketemu dan menimba ilmu, tetapi salah seorang cucu mantu dari mbah abu amar, pernah mengajarkan kepada saya bahwa mbah abu amar pernah meling, agar jangan mengajar, kalau belum mampu mengoreksi kitabnya.
BalasHapusMbah Kyai Abu 'Amar mengajarkan kepada putrinya yang bernama Umi unsiyah Puji Pangesti Ali Qadiri, berilah makan kepada para anak-anakmu dari Rizqi yang Halal, insya Allah , para anak-anakmu nanti akan tertata secara Ekonomi (itulah yg ku kekenang dari cerita Ibundaku).
BalasHapusCucu Mbah KYai : Abu Muslim
Assalamu'alaikum tolong di paparkan siap kyai Jamsaren Banyumas itu dan nasab KK e atas makasih wassalamu'alaikum
BalasHapusAda catatan silsilah Kyai Jamsari ??? Mohon di bantu untuk info silsilah beliau..
BalasHapus